Berikut secuil yang kuambil dari ceritaku yang tergabung dalam Antologi ONE MONTH OF THE YEAR, judulnya TRAUMA LAGU GUGUR BUNGA.
Diawali alunan instrumental
lagu Gugur Bunga, lalu gambar-gambar itu bergantian membentang di tembok. Aku
menutup mulutku dengan telapak tangan, seketika kedua mataku nanar.
Gambar-gambar itu tidak seharusnya dikonsumsi anak-anak!. Aku menggeser
pandangan pada siswa-siswi yang duduk di atas karpet, meski tak terlalu jelas
tapi aku tahu beberapa mulai meremas kedua lengannya.
Kebebasan masa depan hampir
terbelenggu oleh diktator masa lalu. Manakala anak yang belum konkret
pemikirannya diperlihatkan secara bertubi-tubi peristiwa bengis dan mengerikan
jaman penjajahan. Tujuannya memang untuk menanamkan pentingnya kemerdekaan
Indonesia, tetapi anak-anak itu masih terlalu polos untuk memaknai visualisasi
tersebut. Yang teringat hanya pembantaian dan darah yang tumpah ruah, video
tersebut berhasil membuat mereka ketakutan higga sulit tidur. Lagu Gugur Bunga
yang menjadi pengiring film dokumenter tersebut layaknya deathbell, menyayat syaraf demi syaraf otak ketika lagu itu mulai
melantun. Lagu yang seharusnya dirasakan, dihayati, direnungkan secara hikmat.
Kini bagi beberapa anak, lagu tersebut menjadi momok yang menakutkan.
Aku semakin menajamkan
pandangan. Drama apa yang kulihat di tempat ini? Suasana nampak mencekam. Rasa
takut dengan cepat melilit jiwa malaikat-malaikat kecilku. Sebagian menelungkup,
gemetar dan berkeringat. Sebagian lagi nampak terpaku sambil menyaksikan
pemutaran film dokumenter pra merdeka dengan saksama, namun tidak ada yang
terbias dari kedua matanya. Ya, kosong! yang kulihat adalah tatapan kosong dan
hampa seolah sudah mati rasa. Ohh, tidak! mereka harus diselamatkan!.
Aku beranjak dari
tempat dudukku, menatap tajam sambil berjalan cepat menuju operator pemutaran
film.
Tatapan aneh
menyambutku, Dika mengernyit dan bertanya “Ada apa?”
Tanpa menjawabnya,
jariku langsung menggerakkan mouse untuk menekan tombol stop pada layar laptop yang terhubung dengan LCD Proyektor. “Untuk kali ini saja, biarkan berjalan sesuai
caraku,” kataku dengan wajah serius.